Tampilkan postingan dengan label Pesantren. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Pesantren. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 18 Februari 2017

Apakah yang Membuat Indomie Goreng Itu Masuk Surga Kiai?

Duta Islam Nusantara - Seusai menjalankan salat Tahajud, seorang kiai mendadak ingin keluar dari langgar, mencari udara segar. Di depan langgar, dia melihat salah satu santrinya sedang merokok dengan muka yang tampak serius memikirkan sesuatu.

Apakah yang Membuat Indomie Goreng Itu Masuk Surga Kiai?
Apakah yang Membuat Indomie Goreng Itu Masuk Surga Kiai?


“Apa yang sedang kamu pikirkan, Nak?”

Si Santri njenggirat kaget hingga rokoknya terjatuh. “Nggak, Pak Yai… Hanya memikirkan hal yang tidak terlalu penting.” ujarnya sambil mengambil rokoknya dari tanah.

“Kalau aku boleh tahu, hal apakah itu?”

Si Santri diam sejenak, lalu membuka suara. “a nu, Pak Yai… Apakah kira-kira orang yang membuat Indomie goreng itu masuk surga atau tidak ya?”

“Lha memang kenapa?”

“Bayangkan, Pak Yai… Dengan harga yang cukup murah, Indomie goreng memberi kenikmatan luar biasa. Santri-santri yang habis mengaji, bisa mengisi perut mereka, menikmati lezatnya Indomie goreng. Mahasiswa-mahasiswa yang duitnya menipis, seusai mengerjakan tugas, bisa bergembira dengan cara yang sederhana: makan Indomie goreng. Orang-orang yang usai bermunajat dan berzikir di tengah malam, bisa makin menikmati karunia Allah dengan cara yang tak rumit: cukup pergi ke dapur, 10 menit kemudian sudah bisa menghadap seporsi Indomie goreng. Banyak orang yang sedih menjadi gembira dengan tidak mengeluarkan banyak biaya. Indomie goreng dinikmati oleh semua kalangan, baik para orang kaya sampai orang tak berpunya, dari para pejabat sampai rakyat jelata. Perut mereka kenyang, hati pun gembira. Bukankah itu mulia, Pak Yai?” (Baca juga: Akibat Durhaka Kepada Kiai, Santri Ini Tak Punya Taji)

Sang Kiai diam. Dia lalu duduk di samping santri kinasihnya itu.

“Apakah para pencipta kegembiraan-kegembiraan kecil semacam itu, bisa masuk surga, Pak Yai?”

“Pertanyaanmu terlalu berat, Nak. Surga itu hak Tuhan. Jangan turut campur soal itu…” jawab Sang Kiai sambil menghirup nafas panjang. Wajahnya memandang langit yang agak mendung. Udara malam menjelang pagi kali ini begitu segar dengan angin yang sembribit. Suasana tintrim.

“Mohon maaf, Pak Yai. Seperti yang sejak awal saya matur, saya hanya sedang memikirkan hal yang tidak penting. Hanya pikiran melantur…”

“Tidak baik punya pikiran melantur. Pikiran yang terlalu banyak melantur itu menyiakan dua karunia Gusti Allah yang sangat penting: pikiran itu sendiri, dan waktu.”

“Inggih, Pak Yai. Mohon maaf…”

“Jangan meminta maaf kepadaku…”

“Inggih, Pak Yai…”

“Gunakanlah waktumu untuk beraktivitas yang nyata…”

“Baik, Pak Yai…” Si Santri itu lalu bangkit, menyalami kiainya. Tapi Sang Kiai segera bertanya, “Lho, kamu mau ke mana?”

“Menggunakan waktu sebaik mungkin, Pak Yai.”

“Mau melakukan apa?”

“Melakukan hal nyata, Pak Yai. Mungkin membaca kitab. Atau mungkin berzikir…”

“Itu nanti saja sehabis salat Subuh…”

Si Santri kikuk. Agak bingung. Kepalanya menunduk. Sepasang tangannya berusaha membetulkan sarungnya agar tidak melotrok.

“Kamu masih punya stok Indomie goreng?”

Ditanya seperti itu, Si Santri agak grogi. “Mmm… masih, Pak Yai. Masih banyak. Ukuran biasa ada. Ukuran jumbo juga ada.”

“Kalau kamu berkenan, bolehlah kamu bikinkan aku Indomie goreng.”

Wajah Si Santri tampak terkejut tapi sekaligus sumringah. “Tentu saja akan saya buatkan, Pak Yai!”

Lalu Santri itu menyat hendak pergi bergegas.

“Eh, tunggu dulu…”

“Ya, Pak Yai…”

“Punya telor?”

“Punya, Pak Yai! Masih ada kalau cuma 5 butir.”

“Jangan banyak-banyak, dua butir saja. Satu diceplok, satu lagi didadar.”

“Baik, Pak Yai!”

“O ya, kasih irisan cabe ya…”

“Sendika dhawuh, Pak Yai. Pedas, Pak Yai?”

Sang Kiai menganggukkan kepala, lalu dia berkata, “O ya, jangan lupa Indomie gorengnya dobel ya…”

“Indomie jumbo dobel, Pak Yai?”

“Tidak usah. Terlalu kenyang dan berlebihan itu tidak baik. Cukup yang ukuran biasa saja tapi dobel.”

“Siap, Pak Yai!”

“Dan jangan lupa, minta udud-mu satu. Untuk kuisap nanti sehabis makan Indomie. Kebetulan udud-ku habis.”

“Pasti, Pak Yai.” Segera Santri itu berkelebat pergi ke dapur pesantren dengan hati yang gembira sekaligus berpikir keras. Sudah hampir 5 tahun dia nyantri di pesantren kecil ini, belum pernah sekali pun dia mendapatkan kehormatan. [Duta Islam Nusantara]

Dari : http://www.dutaislam.com/2016/12/apakah-yang-membuat-indomie-goreng-itu-masuk-surga-kiai.html

Jumat, 17 Februari 2017

Mbah Sahal: Kita Juga Tidak Tahu Apakah Allah Menerima atau Tidak Hasil Fatwa Itu (MUI)

 Duta Islam Nusantara - Banyak masyarakat awam yang tidak tahu menahu apa fungsi dan kedudukan fatwa yang telah dikeluarkan oleh Majlis Ulama Indonesia (MUI). Faktanya, sampai hari ini, fatwa-fatwa yang telah dikeluarkan MUI kerap kali menuai kontroversi.

Mbah Sahal: Kita Juga Tidak Tahu Apakah Allah Menerima atau Tidak Hasil Fatwa Itu (MUI)
Mbah Sahal: Kita Juga Tidak Tahu Apakah Allah Menerima atau Tidak Hasil Fatwa Itu (MUI)


Empat tahun silam, wartawan Tempo pernah mewawancarai almarhum KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz, yang notabene pernah menjabat sebagai ketua MUI. Kiai Sahal menyatakan bahwa "Fatwa MUI itu bukan satu-satunya fatwa. MUI juga bukan lembaga operasional seperti NU atau Muhammadiyah, yang bisa menggerakkan anggotanya. Jadi, fatwa MUI tidak mengikat."

Berikut ini transkrip wawancara bersama KH. Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz-Kajen-Pati, pada tanggal 30 Juli 2012, yang telah diterbitkan oleh Tempo edisi 22/41.

"Tak Perlu Fatwa Tentang Korupsi"

Selama Ramadan ini, pada pukul 8-10 pagi, ruang tamu dan teras rumah KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz penuh sesak oleh santri dan masyarakat yang mengikuti ngaji pasaran. Ini adalah tradisi mengkaji kitab kuning di pesantren yang dibacakan oleh kiai. Hampir 400 orang mengikuti ngaji pasaran Kiai Sahal. Pada bulan puasa ini, yang dikaji adalah kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam Ghazali.

Selama dua jam tanpa henti, kiai yang juga Rais Am Syuriah (ketua umum lembaga permusyawaratan) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu membaca kitab dan menerjemahkannya kata demi kata dalam bahasa Jawa. Suaranya masih lantang, meski sesungguhnya dalam beberapa tahun terakhir kesehatan kiai 75 tahun ini sering terganggu. Ngaji posonan tersebut juga disiarkan secara live streaming oleh situs resmi NU.

Sore hari selepas ashar, duduk di kursi malas di ruang tengah rumahnya, Kiai Sahal menghabiskan waktu menjelang berbuka sambil menerima tamu. Mengenakan baju lengan panjang abu-abu kotak-kotak, dipadu dengan sarung putih dan peci putih, kesehatan kiai yang dikenal dengan gagasan fiqh sosial ini terlihat menurun. Namun gaya bicara dan bahasa tubuhnya tetap tegas. Gaya bicara seperti ini juga yang muncul tatkala dia berbicara dengan Sohirin dan fotografer Budi Purwanto dari Tempo.

Mbah Sahal menyampaikan keprihatinannya atas kondisi umat Islam Indonesia, tentang intoleransi dan kekerasan, peran ulama, serta fatwa Majelis Ulama Indonesia. Namun dia enggan berbicara tentang politik. "Politik itu sensitif. Kita diskusi selain politik saja," ujarnya sambil merebahkan punggung pada sandaran kursi.

Islam di Indonesia belakangan terkesan garang karena tindakan beberapa organisasi kemasyarakatan yang mengatasnamakan Islam.

Sangat disayangkan. Mereka mengatasnamakan Islam tapi belum mengerti apa sesungguhnya Islam. Islam hanya dimaknai secara sepotong-sepotong. Saya menduga keberadaan mereka karena didorong oleh kepentingan tertentu, bisa kepentingan politik, ekonomi, dan sebagainya. Sebenarnya kelompok semacam itu sudah lama ada. Hanya, dulu tidak semencolok sekarang. Sebelumnya, keberadaannya tidak pernah dipikirkan.

Lalu kenapa para ulama besar tidak mengecam mereka kalau memang tidak setuju? Panggil pemimpinnya, minta mereka membubarkan diri.

Agak susah. Selama ada kepentingan tertentu yang mendukungnya, mereka akan tetap ada. Tapi, jangan khawatir, masyarakat saat ini cukup kritis dan bisa menilai mana yang betul-betul berjuang untuk agamanya, mana yang hanya bertindak untuk kepentingan pribadi.

Selain garang, umat Islam Indonesia belakangan terkesan tidak toleran. Tidak toleran pada agama lain, juga pada orang Islam sendiri yang berbeda paham.

Saya sudah lama berpikir dan prihatin akan hal ini. Tapi sesungguhnya masalah kerukunan antarumat beragama dan antarumat seagama itu terletak pada umatnya, bukan pada agamanya. Ajaran agamanya tetap bagus. Jadi, problemnya ada pada orangnya, bukan ajarannya.

Tentu saja begitu, tapi kenapa hal tersebut terjadi?

Gerakan yang mengarah pada intoleransi disebabkan oleh lemahnya pemahaman terhadap agama. Hal ini diperkuat oleh budaya setempat. Misalnya kasus yang menimpa penganut Syiah di Madura. Pangkal soalnya bukan ajaran agama, melainkan karena masalah keluarga dan kultur setempat yang memang keras.

Kalau soalnya adalah pemahaman agama yang lemah, bukannya di antara yang memerintahkan kekerasan itu justru habib dan ustad?

Intoleransi dan kekerasan hanya dilakukan oleh orang yang belum mampu memahami agama Islam secara utuh. Tidak ada kiai yang mudah menuduh seseorang kafir, karena mengafirkan orang lain tanpa alasan yang kuat juga dosa. Jangan sampai menyalahkan orang lain karena dilandasi rasa benci. Jangan pula mudah menyalahkan orang lain karena menuduh perbuatan orang lain tidak sesuai dengan Al-Quran dan hadis. Biasanya justru orang yang belum paham tentang Al-Quran dan hadislah yang mudah menyalahkan yang lain dan cenderung menyalahkan pihak-pihak yang tak sepaham dengannya.

Selain itu, ada beberapa pihak terjebak pada pemaksaan pemurnian ajaran Islam. Bagi mereka, Islam harus kembali pada Al-Quran dan hadis. Pertanyaannya, sejauh mana mereka memahami Al-Quran dan hadis.

Bagaimana dalam soal Ahmadiyah, yang kerap menjadi korban kekerasan?

Beberapa ulama menyarankan agar penganut Ahmadiyah keluar dari Islam, karena ajarannya dianggap menyimpang dari Islam. Jadi, Ahmadiyah menjadi agama sendiri. Tentunya pengikut Ahmadiyah enggan menerimanya. Yang penting adalah janganlah perbedaan pendapat itu berujung pada kekerasan, karena justru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri yang rahmatan lil 'alamiin.

Selain soal intoleransi, apa problem terbesar umat di Indonesia?

Muslim di Indonesia memang terbesar di dunia. Sayangnya, masih sebatas kuantitas, belum kualitas. Belum ada usaha bersama untuk menciptakan umat yang lebih berkualitas.

Penyebab kualitas yang buruk?

Pendidikan. Kunci utama untuk memperbaiki kualitas adalah perbaikan pendidikan. Pendidikan yang tak hanya sesuai dengan kurikulum, tapi mengajari manusia menjadi pribadi yang utuh. Pendidikan di sekolah sekarang hanya mengejar kurikulum dan ijazah. Semestinya, tugas guru adalah mengajarkan sesuatu yang komprehensif.

Siapa yang salah?

Jangan salahkan orang lain, salahkanlah diri sendiri. Sekarang orang cenderung pada perilaku hubbu ad-dunya, yakni mengejar kemewahan dunia secara berlebihan. Karena sibuk mengejar kemewahan, kita melupakan pendidikan keluarga.

Apa pengaruh pendidikan yang buruk pada kualitas beragama?

Jelas berpengaruh. Orang kemudian beragama karena faktor budaya. Misalnya, orang kaya pergi haji dan umrah berkali-kali tapi dia tak pernah bersedekah bagi tetangganya yang fakir. Beragama hanya karena sanjungan orang, belum memahami esensi agama yang sesungguhnya. Jika agama dipahami secara benar, dan pendidikan disampaikan secara benar, kita tak akan terjebak pada krisis yang multidimensi.

Apakah lemahnya pemahaman agama itu artinya peran ulama juga melemah?

Di kampung-kampung, ulama tetap menjadi tokoh sentral. Kalau Anda lihat di daerah atau desa, ulama atau kiai sangat repot. Itu karena hampir semua urusan umat menjadi urusan kiai. Itu yang benar. Makanya tak benar jika ada anggapan ulama atau kiai hanya mengurusi ngaji. Memang tidak semua urusan bisa diselesaikan oleh kiai, karena ulama juga mempunyai keterbatasan.

Anda sendiri?

Selain mengurusi pendidikan, saya memikirkan perekonomian dan kesehatan masyarakat. Kami mendirikan bank perkreditan rakyat sebagai solusi permodalan masyarakat yang tidak memberatkan. Kami juga mendirikan rumah sakit. Jadi, idealnya kiai tak hanya memberikan pengajian, tapi juga harus terlibat menyelesaikan problem masyarakat.

Tapi, sebagai Ketua MUI, Anda tentu tahu banyak orang tak lagi menuruti fatwa yang dikeluarkan oleh ulama di organisasi itu.

Fatwa MUI itu bukan satu-satunya fatwa. MUI juga bukan lembaga operasional seperti NU atau Muhammadiyah, yang bisa menggerakkan anggotanya. Jadi, fatwa MUI tidak mengikat.

Kalau tidak mengikat, kenapa difatwakan?

Pertanyaannya, kenapa harus mengikat? Mengikat dan tidak itu soal keyakinan. Kita juga tidak tahu apakah Allah menerima atau tidak hasil fatwa itu, ha-ha-ha.… Jadi, fatwa MUI hanya bersifat imbauan moral.

Atau mungkin fatwa MUI kurang bergigi karena tidak menyentuh persoalan umat yang lebih penting. Misalnya, tak adanya fatwa tentang korupsi.

Tak perlu ada fatwa tentang korupsi. Sudah banyak yang memberi fatwa dan komentar mengenai bahaya korupsi. Kalau MUI mengeluarkan fatwa tentang korupsi, itu ketinggalan dan keterlaluan. Sama halnya MUI memberi fatwa tentang hukum mencuri. Mau dikatakan apa pun, maling ya tetap saja maling.

Fatwa MUI yang melarang pluralisme, sekularisme, dan liberalisme Islam juga mengundang banyak reaksi?

Plural adalah sunatullah yang tak bisa dihindari. Dengan pluralisme, kita banyak belajar. Tapi jangan terlalu plural. Sejak zaman Nabi, plural itu beda, tapi kalau terlalu beda juga tidak baik. Jangan lupa, sebelum kita berbicara banyak tentang pluralisme, fondasi kita tentang pemahaman agama dan kebangsaan sudah harus kokoh. Jika tidak, kita akan terbawa arus yang kebablasan. Seperti halnya demokrasi itu bagus, tapi kalau terlalu liberal, tidak bagus.

Omong-omong, Pak Kiai kemarin mulai puasa hari apa?

Saya tak pernah menentukan sendiri. Saya selalu ikut pemerintah. Enak, ada yang tanggung jawab.

KH Muhammad Ahmad Sahal Mahfudz Tempat dan tanggal lahir: Pati, Jawa Tengah, 17 Desember 1937 Pendidikan: Pesantren Bendo, Kediri, Jawa Timur, Pesantren Sarang, Rembang, Jawa Tengah, Tiga tahun belajar di Mekah. Pada 1951-1953 mengikuti kursus ilmu umum. Selain sebagai Pengasuh Pesantren Maslakhul Huda Kajen-Pati, semasa hidupnya, Kiai Sahal Penah Menjabat sebagai Rais Am PB NU dan Ketua MUI. [Duta Islam Nusantara]

Dari : http://www.dutaislam.com/2016/12/mbah-sahal-kita-juga-tidak-tahu-apakah-allah-menerima-atau-tidak-hasil-fatwa-mui.html

Rabu, 11 Februari 2015

Makin Meluas, Setelah Lombok, Kini Ribuan Massa di Ngawi Tuntut FPI dan HTI Dibubarkan

Duta Islam Nusantara - Aksi menuntut pembubaran organisasi masyarakat (ormas) yang dianggap radikal tidak sesuai dengan faham nasionalisme kian melebar diberbagai daerah. Kini, ribuan massa yang tergabung Aliansi Kebangsaan Ngawi (Akang) di Ngawi, Jawa Timur, menuntut pembubaran Front Pembela Islam (FPI) dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Jum’at (27/01/2017).

Makin Meluas, Setelah Lombok, Kini Ribuan Massa di Ngawi Tuntut FPI dan HTI Dibubarkan
Makin Meluas, Setelah Lombok, Kini Ribuan Massa di Ngawi Tuntut FPI dan HTI Dibubarkan


Sambil berorasi sekitar pukul 13.30 WIB massa bergerak dari alun-alun Ngawi menyusuri beberapa jalan protokol dengan mendapatkan pengawal ketat dari aparat Polres Ngawi. Sambil membawa spanduk bertuliskan ‘Tolak FPI Di Kabupaten Ngawi’ ribuan massa ini melakukan orasi dibeberapa titik seperti depan Pendopo Wedya Graha, DPRD Ngawi dan terakhir di Perempatan Kartonyono Ngawi.

Ribuan massa Akang yang terdiri dari Pemuda Ansor, Banser, kader PDIP dan beberapa komunitas motor baik dari jeep maupun komunitas trail menuntut kepada pemerintah untuk membubarkan kedua ormas baik FPI dan HTI yang dinilai mempunyai agenda terselubung merongrong pemerintah yang sah. Mereka meminta agama jangan sampai dijadikan alat politik apalagi secara jelas mengarah dan berpotensi pada perpecahan bangsa yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

“Kita tidak mau di Ngawi yang tenang dan nyaman ini dirusak oleh faham-faham yang bertentangan dengan kehidupan bernegara yang sah sesuai ideologi Pancasila dan konstitusi UUD 1945. Maka apapun bentuknya jika ada ormas yang berbau radikalisme serta bertentangan dengan faham negara kami minta pemerintah harus tegas dan membubarkanya jangan sampai rakyat terpecah belah,” ujar Ahmad dilokasi demo, Jum’at (27/01).

Pengunjuk rasa menilai keberadaan FPI secara umum di tanah air dapat mengancam persatuan suku dan etnis di Indonesia. Karena itu, mereka menuntut dan mendesak pemerintah segera membubarkan ormas tersebut. Selain itu pembubaran ormas harus dilakukan terhadap HTI berpaham radikal-salafi-wahabi di Indonesia. Maka apapun alasanya tegas pengunjuk rasa ini NKRI dan Pancasila tetap harga mati.

Terkait aksi ribuan massa Akang ini, Kapolres Ngawi AKBP Suryo Sudarmadi menegaskan, untuk mengantisipasi keamanan baik pengunjuk rasa maupun warga masyarakat telah mengerahkan ratusan personel yang ditempatkan dibeberapa titik lokasi unjuk rasa. Dia membenarkan, tuntutan pembubaran FPI dan HTI dilakukan sekitar 2 ribu massa Akang yang datang dari seluruh penjuru wilayah Ngawi.

“Untuk mengantisipasi sesuatu hal khususnya keamanan pada pelaksanaan aksi demo di Ngawi ini pihak kami menerjunkan ratusan personel mengingat aksi massa yang datang pada kesempatan ini luar biasa jumlahnya mencapai ribuan orang,” pungkas Kapolres Ngawi AKBP Suryo Sudarmadi. [Duta Islam Nusantara]

Dari : http://www.dutaislam.com/2017/01/makin-meluas-setelah-lombok-kini-ribuan-massa-di-ngawi-tuntut-fpi-dan-hti-dibubarkan.html

Minggu, 01 Desember 2013

Hukum Adzan di Telingan Bayi yang Baru Lahir

Duta Islam Nusantara - "Kami tidak mengamalkan adzan untuk anak lahir karena hadisnya dlaif," kata Salafi selebritis. Padahal, Imam Nawawi menjelaskan tentang anjuran adzan saat bayi lahir:

اﻟﺴﻨﺔ ﺃﻥ ﻳﺆﺫﻥ ﻓﻲ ﺃﺫﻥ اﻟﻤﻮﻟﻮﺩ ﻋﻨﺪ ﻭﻻﺩﺗﻪ ﺫﻛﺮا ﻛﺎﻥ ﺃﻭ ﺃﻧﺜﻰ ﻭﻳﻜﻮﻥ اﻷﺫاﻥ ﺑﻠﻔﻆ ﺃﺫاﻥ اﻟﺼﻼﺓ ﻟﺤﺪﻳﺚ ﺃﺑﻲ ﺭاﻓﻊ اﻟﺬﻱ ﺫﻛﺮﻩ اﻟﻤﺼﻨﻒ

Hukum Adzan di Telingan Bayi yang Baru Lahir - Duta Islam Nusantara
Hukum Adzan di Telingan Bayi yang Baru Lahir - Duta Islam Nusantara


Hukum Adzan di Telingan Bayi yang Baru Lahir

Sunah untuk diadzani di telinga anak yang baru lahir, laki atau wanita, seperti redaksi adzan Salat berdasarkan hadis Abu Rafi'

ﻗﺎﻝ ﺟﻤﺎﻋﺔ ﻣﻦ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻳﺴﺘﺤﺐ ﺃﻥ ﻳﺆﺫﻥ ﻓﻲ ﺃﺫﻧﻪ اﻟﻴﻤﻨﻰ ﻭﻳﻘﻴﻢ اﻟﺼﻼﺓ ﻓﻲ ﺃﺫﻧﻪ اﻟﻴﺴﺮﻯ

Duta Islam Nusantara

Ulama Syafiiyah menganjurkan diadzani di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri

ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻳﻨﺎ ﻓﻲ ﻛﺘﺎﺏ اﺑﻦ اﻟﺴﻨﻲ ﻋﻦ اﻟﺤﺴﻴﻦ ﺑﻦ ﻋﻠﻲ ﺭﺿﻲ اﻟﻠﻪ ﻋﻨﻬﻤﺎ ﻗﺎﻝ (ﻗﺎﻝ ﺭﺳﻮﻝ اﻟﻠﻪ ﺻﻠﻰ اﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻪ ﻭﺳﻠﻢ ﻣﻦ ﻭﻟﺪ ﻟﻪ ﻣﻮﻟﻮﺩ ﻓﺄﺫﻥ ﻓﻲ ﺃﺫﻧﻪ اﻟﻴﻤﻨﻰ ﻭﺃﻗﺎﻡ ﻓﻲ ﺃﺫﻧﻪ اﻟﻴﺴﺮﻯ ﻟﻢ ﺗﻀﺮﻩ ﺃﻡ اﻟﺼﺒﻴﺎﻥ) ﻭﺃﻡ اﻟﺼﺒﻴﺎﻥ اﻟﺘﺎﺑﻌﺔ ﻣﻦ اﻟﺠﻦ

Kami meriwayatkan dari kitab Ibnu Sunni dari Husain bin Ali bahwa Nabi bersabda: "Barang siapa memiliki anak, lalu diadzani di telinga kanan dan iqamah di telinga kiri, maka tidak akan diganggu oleh ummu shibyan". Ummu shibyan adalah nama jin yang mengikuti anak.

Duta Islam Nusantara

ﻭﻧﻘﻞ ﺃﺻﺤﺎﺑﻨﺎ ﻣﺜﻞ ﻫﺬا اﻟﺤﺪﻳﺚ ﻋﻦ ﻓﻌﻞ ﻋﻤﺮ ﺑﻦ ﻋﺒﺪ اﻟﻌﺰﻳﺰ ﺭﺣﻤﻪ اﻟﻠﻪ

"Ulama Syafiiyah meriwayatkan hadis seperti ini dari Umar bin Abd Aziz"

Walaupun dlaif tetap kami amalkan, sebab seorang Tabiin dan Khalifah dinasti Bani Umayyah (Umar bin Abd Aziz) saja mau mengamalkan, kok bukan siapa-siapa tidak mau mengamalkan? [Duta Islam Nusantara]

Ma'ruf Khozin, Aswaja NU Center Jatim

Dari : http://www.dutaislam.com/2016/10/hukum-adzan-di-telingan-bayi-yang-baru-lahir.html

Sabtu, 23 November 2013

Penjara Khusus Terpidana Teroris Segera Beroperasi

Duta Islam Nusantara - Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) memastikan, Lebaga Pemasyarakatan (Lapas) khusus untuk terpidana kejahatan terorisme akan segera dioperasikan.

“Namanya Lapas Kelas IIB Sentul, lokasinya di Sentul, Jawa Barat,” kata Sekretaris Utama BNPT, Mayjen. (TNI) R. Gautama Wiranegara dalam sambutannya di pembukaan Diseminasi Pedoman Peliputan Terorisme dan Peningkatan Profesionalisme Media Massa Pers dalam Meliput Isu-isu Terorisme di Palu, Sulawesi Tengah, Kamis (26/5/2016).

Penjara Khusus Terpidana Teroris Segera Beroperasi - Duta Islam Nusantara
Penjara Khusus Terpidana Teroris Segera Beroperasi - Duta Islam Nusantara


Penjara Khusus Terpidana Teroris Segera Beroperasi

Dikatakan juga oleh Gautama, pembangunan Lapas khusus terpidana terorisme tersebut saat ini sudah memasuki tahap finishing. “Sekarang sedang dilakukan penguatan pagar,” tambahnya.

Dalam sambutannya Gautama juga mengungkapkan, sejak dilakukan penanganan serius terhadap terorisme pada tahun 1999, hingga bulan April 2016 sudah terdapat 1114 pelaku terorisme yang berhasil ditangkap. Dari jumlah tersebut 834 orang sudah diajukan ke persidangan dan mendapatkan vonis, 531 orang sudah bebas, dan 333 sisanya masih menjalani hukuman.

Duta Islam Nusantara

“(Penempatan di Lapas khusus) ini bagian dari pencegahan agar terorisme tidak semakin menyebar,” tegas Gautama.

Sementara untuk penanggulangan terorisme secara utuh, BNPT tetap menggunakan dua pendekatan, yaitu hard approach dan soft approach. Untuk hard approach BNPT mengedepankan pada penguatan intelejen dan koordinasi dengan instansi terkait, sementara soft approach melalui pelibatan masyarakat.

“Termasuk kegiatan kita pagi ini adalah bagian dari pelibatan masyarakat. Tepatnya pelibatan media massa dalam pencegahan terorisme, karena memang media massa memiliki peran yang sangat strategis dalam hal ini,” urai Gautama.

Duta Islam Nusantara

Diseminasi Pedoman Peliputan Terorisme dan Peningkatan Profesionalisme Media Massa Pers dalam Meliput Isu-isu Terorisme dilaksanakan BNPT dengan menggandeng Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 32 provinsi se Indonesia. Kegiatan di Palu di antaranya menghadirkan narasumber President of Southeast Asia Press Alliance (SEAPA) Eko Maryadi, Wapemred Radar Sulteng Rahmad Bakri, dan Ketua Prodi Komunikasi FISIP Universitas Tadulako, Muhammad Khairil. [Duta Islam Nusantara/gj]

Dari : http://www.dutaislam.com/2016/05/penjara-khusus-terpidana-teroris-segera-beroperasi.html

Sabtu, 12 Oktober 2013

Mengapa Makam Syekh Maulana Maghribi Ada Banyak? Ini Jawaban Habib Luthfi

Duta Islam Nusantara - Ahmad Syah Jalal (cucu Raja Naser abad India) menikah dengan putri raja Champa (Indocina, Vietnam-Kamboja) yang kemudian melahirkan Syekh Jamaludin Husen, memiliki 11 anak. Itulah kakek dari wali 9.

Mengapa Makam Syekh Maulana Maghribi Ada Banyak? Ini Jawaban Habib Luthfi - Duta Islam Nusantara
Mengapa Makam Syekh Maulana Maghribi Ada Banyak? Ini Jawaban Habib Luthfi - Duta Islam Nusantara


Mengapa Makam Syekh Maulana Maghribi Ada Banyak? Ini Jawaban Habib Luthfi

Syekh Jamaludin inilah yang melakukan perjalanan -beserta rombongan para ulama yang dari Timur Tengah dan Maroko, hingga sampai ke Indonesia. Rombongan tersebut disebut sebagai al-Maghrobi (sebutan daerah Maghrib, Maroko). Setelah bertemu di Pasai, Aceh, rombongan tersebut langsung menuju ke pulau Jawa, tepatnya di Semarang. Dari Semarang mereka meneruskan perjalannya ke Trowulan-Mojokerto.

Karena akhlak dan budi pekertinya yang baik, beliau sangat dihormati di kerajaan Majapahit.

Meskipun beda agama, pada waktu itu, beliau mendapat beberapa bidang tanah dari Maha Patih Gajah Mada, utamanya untuk kepentingan membuat sebuah padepokan pendidikan santrinya tidak hanya bersala dari dalam negeri, tetapi juga dari luar negeri.

Syekh Jamaludin Husen juga sangat popular disebut dengan Syeikh Jumadil Kubro. Rombongan beliau berpencar dalam menjalankan tugasnya masing-masing. Yang terbanyak di Jawa Timur, Jawa Tengah, lalu sebagian kecil ke Jawa Barat.

Dan makam-makam beliau-beliau ini. di kemudian hari, dinamakan al-Maghrobi. Makam dengan julukan itu sangat banyak, dan hal itu wajar karena orangnya bukan satu, tapi banyak.

Rombongan kedua dipimpin oleh dua tokoh, yang pertama Maulana Malik Ibrahim dan Sayyid Ibrohim Asmoroqondi (As Samarqondi) atau Pandito Ratu. Ketika itu, rombongan Maulana Malik Abdul Ghofur yang juga merupakan kakak Maulana Malik Ibrohim disebut pula sebagai al-Maghrobi-al-Maghrobi. Rombongan ini ternyata lebih banyak dari jumlah sebelumnya.

Maulana Malik Ibrohim adalah cucu dari Syekh Jumadil Kubro. Rombongan ini juga berpencar, dan di antara robongan-rombongan tersebut ada yang sampai ke Pekalongan. Jumlahnya ada sekitar 25 orang maulana-maulana al Maghrobi. Makam beliau juga terpencar-terpencar dengan nama yang sama, Maulana Maghrobi.

Prabu Siliwangi (kerajaan Pajajaran) memanggil Maulana Maghrobi dengan sebutan kakek (pernahnya). Artinya, Maulana Maghrobi itu lebih tua dari Prabu Siliwangi. Di antara anggota rombongan itu, ada yang wafat satu orang, dimakamkan di pesisir Semarang, yang juga dikenal dengan nama Syekh Jumadil Kubro. Lokasinya dekat Kaligawe.

Dan ada juga yang wafat di Pekalongan, nama yang pertama adalah Maulana Syarifudin Abdullah, Hasan Alwi al Quthbi. Beliau bersama rombongannya tinggal di daerah Blado, Wonobodro. Lalu ada dua orang lagi bernama Maulana Ahmad al Maghrobi dan Maulana Ibrohim Almaghrobi, tinggal di daerah Bismo. Tiga tokoh tersebut dimakamkan di Bismo dan Wonobodro.

Yang di Bismo membangun masjid di Bismo, sementara yang di Wonobodro membangun masjid juga di Wonobodro. Yang di Setono (pekalongan), ada Maulana Abdul Rahman dan Maulana Abd Aziz Almaghrobi. Di antaranya lagi, tersebut nama Syekh Abdullah Almaghrobi Rogoselo, Sayidi Muhammad Abdussalam Kigede Penatas Angin.

Jadi, Almaghrobi tersebut ada empat generasi; generasi Jamaludin al Husen, generasi Ibrohim Asmoroqondi dan generasi Malik Ibrohim, lalu generasi Sunan Ampel. Yang dimakamkan di Paninggaran, daerah Sawangan, Wali Tanduran, adalah termasuk generasi kedua, walaupun bukan golongan al Maghrobi. Beliau sangat gigih dalam syi’ar Islam di Paninggaran. Kalau dalam bahasa Sunda, paninggaran itu berarti cemburu.

Pekalongan ini masih terpengaruh Jawa Barat dan sebagian Jawa Timur. Karena perbatasan Mangkang itu wilayah Majapahit, dan Mangkang ke arah barat sudah termasuk ikut wilayah Pajajaran Kuno. Pekalongan sendiri terpengaruh bahasa-bahasa Sunda dengan salah satu buktinya, ada nama tempat berawalan Ci, yakni Cikoneng Cibeo, di daerah Sragi.

Jadi, sebelum sebelum wali 9 yang masyhur seperti Sunan Ampel, Sunan Giri Sunan, Kali Jogo dan lainnya, sudah ada wali sembilan seperti Lembaga Wali Sembilan jamannya Sunan Ampel itu. Lembaga wali Sembilan ini seperti Wali Abdal, yang jumlahnya ada 7. Wafat satu akan ada yang menggantikannya. Wafat satu, berganti dan seterusnya. Jumlahnya tidak lepas dari 7. Nah wali 9 pun demikian.

Termasuk Kigede Penatas Angin itu Walisongo. Yang Wonobodro juga bagian dari Walisembilan, tapi tentu masuk generasi sebelum Walisongo yang masyhur itu. Ki Gede Penatas Angin adalah yang mempertahankan Pekalongan dari serangan Portugis.

Pada waktu wali 9, di zaman Sunan Gunung Jati, sudah ada yang masuk ke Pekalongan. Namanya Kiyai Gede Gambiran, di pesisir pantai. Tapi karena terkena erosi, sekarang Gambiran sudah tidak ada.

Ada lagi Sayid Husen, di daerah Medono, dikenal sebagai makam Dowo Syarif Husen, hidup dijaman wali 9 juga, antara tahun 1590 an, sebelim masuk pejajahan Belanda. Walaupun tidak banyak disebut dalam sejarah Demak, Pekalongan dulu sangat dekat dan erat.

Pada tahun 1900, Pekalongan lebih sedikit pelabuhannya di sekitar Loji, daerah hilir. Makanya di daerah sekitar itu, nama-nama desanya ada yang dijuluki Bugis; Bugisan, Sampang; Sampangan.

Pekalongan pada waktu itu sudah mulai maju, baik dalam pendidikan agama, ekonomi maupun lainnya. Di Dieng dan daerah sekitarnya, ada beberapa Candi. Itu menunjukkna kultur di Pekalongan sudah maju.

Di daerah Reban sampai Blado pernah ditemukan situs air langga. Itu semua menunjukan kalau Pekalongan sudah tua, hanya kita belum menemukan bukti secara kongritnya. Di antara bukti lainnya adalah pada jaman Sultan Agung Pekalongan, sudah ada tempat atau lumbung-lumbung padi dan beras.

Dan diantara tokoh-tokoh yang berperan pada waktu itu adalah tokoh yang di makamkan di Sapuro, yaitu Ki Gede Mangku Bumi. Sayang makamnya sudah rusak. Jaman almarhum Pak Setiono, saya masih sempat meminta untuk menulis tentang tokoh itu. Beliau meninggal pada tahun 1517 Masehi, makamnya di Sapuro, belakang masjid.

Ada lagi tokoh lain -walaupun aslinya dari Bupati Pasuruan,- namanya Raden Husen Among Negoro. Beliau meninggal tahun 1665 dan dimakamkan di belakang masjid Sapuro. Beliau adalah Putra Tejo Guguh, Putra bupati Kayu-Gersik ke dua. Beliau ini yang menurunkan bupati Pekalongan pertama.

Pada waktu itu penduduk sudah ramai disusul dengan beberapa tokoh yang lain seperti Ki Hasan Cempalo atau Kyai Ahmad Kosasi, sang menantu.

Bupati Pekalongan bernama Adipati Tanja Ningrat meninggal tahun 1127 H. dimakamkan di Sapuro juga, hidup sezaman dengan Jayeng Rono Wiroto, putra Amung Negoro Kyai Gede Hasan Sempalo.

Dan di Noyontaan (Jl. Dr. Wahidin), ada juga tokoh bernama Kiyai Gede Noyontoko, sehingga desa tersebut disebut Noyontaan, sebab waktu itu, yang membuka daerah adalah Ki Gede Noyontoko.

Dulu di belakang rumahnya Pak Teko, meninggal tahun 1660 M. Banyak lagi tokoh sepuh Pekalongan lainnya, seperti Wali Rahman di Noyontaan, dulu di Tikungan Jl. Toba atau di depan pabrik Tiga Dara, tapi sekarang makam nya sudah hilang. [Duta Islam Nusantara]

Keterangan: Dipetik dan diedit dari wawancara Kabag Humas Kab. Pekalongan pada Al-Habib M. Lutfi bin Yahya di Kayu Geritan.

Dari : http://www.dutaislam.com/2017/01/mengapa-makam-maulana-maghrobi-ada-banyak-ini-jawaban-habib-luthfi.html

Senin, 16 September 2013

Mengapa PKI di Indonesia Sering Dimunculkan Jadi Isu?

Duta Islam Nusantara - Santai aja bro menanggapi isu PKI. Biasa-biasa saja. Jangan kemropok alias reaktif. Paling muak lihat provokasi sampah kayak PKI.

Kalau mau perang lagi, silakan. Anda belum tahu pada 2012 kemarin Majalah Tempe mengulas hubungan NU dan PKI yang menyebut NU sebagai ormas algojo PKI 65. Itu isu pesanan Amrik agar peran NU di mata internasional melemah.

Ketika itu, NU baru nembus diplomasi dengan Thaliban yang selama ini tidak berhasil dilakukan Paman Sam. Tempo terbit, majalah itu dibagi-bagikan gratis ke kampus-kampus mamarika secara gratis. Ratusan ribu oplahnya. NU tersudut. Amrik berhasil mempertahankan bisnis opium di wilayah Afganistan karena NU tidak jadi mengusik lebih lanjut. Tapi kini sudah ada 22 cabang NU di negara itu.

Mengapa PKI di Indonesia Sering Dimunculkan Jadi Isu? - Duta Islam Nusantara
Mengapa PKI di Indonesia Sering Dimunculkan Jadi Isu? - Duta Islam Nusantara


Mengapa PKI di Indonesia Sering Dimunculkan Jadi Isu?

Senin kemarin, PBNU adakan Isomil. Tujuannya mendamaikan timteng via kebijaksanaan local wisdom yang selama ini di Indonesia disebut Islam Nusantara. Amrik lagi-lagi kebakaran jenggot. Isu PKI dimunculkan lagi sejak 4 hari sebelum Isomil.

Duta Islam Nusantara

Lihat media. Banyak video lama, isu lama, yang dimunculkan tanpa sebab-sebab sebelumnya. Dikeluarkan secara sistematis oleh jaringan entah berantah. Ini selain untuk melemahkan Banser yang kini kian “radikal” ingin menghajar HTI dimana-mana juga. Banser, lewat isu PKI di tengah gencarnya mereka melakukan represi ke HTI seperti sekarang, diingatkan oleh jaringan itu, bahwa Banser dulu pernah “terlibat” tragedi 65.

Kini, Anda bisa lihat, Banser mundur ke belakang. HTI juga mundur ke belakang sebagaimana NU. Konsumen media beralih mendukung PKI dengan melupakan gerakan makar HTI. Kalau Banser yang sudah ektrem ini dilanjutkan ke isu ganyang PKI, lalu PKI dan HTI jadi korban, siapa yang akan ditunjuk jadi dalang? Negara? Tidak mungkin. Pasti Kiai-kiai NU dan Pengurus NU yang dituduh sebagai provokator perang.

Duta Islam Nusantara

Kalau sudah begini, sejarah NU dituduh kambing hitam seperti tahun 80-an yang menggayang Cina, akan terulang. Sante wae bro!

Dari : http://www.dutaislam.com/2016/05/mengapa-pki-di-indonesia-sering-dimunculkan-jadi-isu.html

Nonaktifkan Adblock Anda

Perlu anda ketahui bahwa pemilik situs Duta Islam Nusantara sangat membenci AdBlock dikarenakan iklan adalah satu-satunya penghasilan yang didapatkan oleh pemilik Duta Islam Nusantara. Oleh karena itu silahkan nonaktifkan extensi AdBlock anda untuk dapat mengakses situs ini.

Fitur Yang Tidak Dapat Dibuka Ketika Menggunakan AdBlock

  1. 1. Artikel
  2. 2. Video
  3. 3. Gambar
  4. 4. dll

Silahkan nonaktifkan terlebih dahulu Adblocker anda atau menggunakan browser lain untuk dapat menikmati fasilitas dan membaca tulisan Duta Islam Nusantara dengan nyaman.


Nonaktifkan Adblock